Sunday, 31 July 2011

Ibadah ciptaan nabi dengan ulama, apa sama?

ARIFIN S SIREGAR


Mungkin ada yang berkomentar, shalat taraweh telah berlalu, kenapa masih dibahas ? Komentar seperti ini, sungguh tidak benar. Tidak benar shalat taraweh telah berlalu, masih terus setiap tahun selama 12 bulan dan tetap perlu terus dikaji kebenarannya.

Pada tulisan ini, hanya merespon pernyataan sdr Azhari A.Tarigan dan ulama lain pada tulisannya (koran Waspada 3 September 2009 “Tasbih Ramadhan“, kolom 2 baris 12-20), dan beserta dakwah ulama lain di masjid/TV, yang mereka menyatakan, “shalat taraweh 11 rakaat atau 23 rakaat, tak perlu dibahas (diperdebatkan).

Berarti terkesan seolah-olah menganggap 11 rakaat atau 23 rakaat sama saja. Mau pilih mana silakan mau 11 rakaat atau 23 rakaat. Pernyataan seperti ini sangat perlu diluruskan, tidak boleh dibiarkan karena dapat merusak akidah. Yang membuat kita kesal, anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ dan tak perlu dibahas (diperdebatkan).

Kenapa tidak perlu ? Itu sangat perlu agar tau yang 11 rakaat dari siapa dan yang 23 rakaat dari siapa. Anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ ini, sepintas lalu masaalah sederhana. Tapi bila dikaji lebih dalam, jelas tidak sederhana, karena berakibat bagi orang yang menerima kata itu menjadi pedoman, akan menanam bibit di hati/di pikiran seseorang bahwa Nabi SAW itu dan ulama itu setara (setingkat) di dalam ajaran Islam (di dalam hak menciptakan ibadah).

Padahal Muhammad SAW itu tidaklah berbuat kecuali atas petunjuk/bimbingan Allah SWT. Apa yang diterima Muhammad SAW adalah wahyu yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan apa yang diciptakan ulama adalah dari pemikiran mereka. Janganlah sampai ada ulama berani menyatakan apa yang diciptakan Nabi SAW (11 rakaat), dianggap nilainya sama dengan ciptaan ulama (23 rakaat).

Kalau ada ulama menyatakan demikian, ini merusak aqidah dan tantangannya rukun iman yaitu: “percaya pada Allah“ dan “percaya pada Rasul“. Penegasan dari rukun iman ini dijelaskan pada QS An-Nisa’ 59 ; Allah SWT berfirman: “Apabila kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalilah (rujuklah) kepada Allah (Al- Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) ....“.

Tidak disuruh oleh Allah SWT: kembali (ambil) dari ulama !!! Atau juga dikuatkan pada HR Muslim adalah Kitabulah (Al-Qur’an/Allah SWT), dan semulia-mulianya petunjuk adakah petunjuk Muhammad SAW (Sunnah) ....“

Memang kebenaran iman seseorang itu harus diuji. Ujian itu adalah berupa tantangan. Iman tanpa tantangan, itu belum iman. Seseorang beriman bahwa shalat sunat subuh 2 rakaat, mungkin karena Nabi SAW, dan semua ulama/ mazhab menyatakan shalat sunat subuh 2 rakaat. Tapi bila ada ulama (mazhab) mengatakan shalat sunat subuh 4 rakaat, mungkin ia akan memilih shalat sunat subuh 4 rakaat.

Hal ini akibat taqlid. Pendirian taqlid membuat seseorang jadi kultus dan lemah daya kritisnya. Ketahuanlah sejauh mana imannya setelah diuji dengan tantangan, (pilih Nabi SAW atau mazhab) ? Contoh kenapa seseorang memilih 23 rakaat bukan memilih yang 11 rakat, karena mazhabnya mengamalkan 23 rakaat.

Penjelasan
Untuk lebih jelasnya kenapa diketahui shalat taraweh 11 rakaat, setelah Aisyah RA memberitahukan pada sahabat Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa Nabi SAW shalat malam (shalat taraweh) di bulan Ramadhan 11 rakaat dan tidak lebih. Berbeda halnya terbentuknya shalat taraweh yang 23 rakaat, itu adalah ciptaan ulama. Bukti 23 rakaat itu ciptaan ulama, karena ada juga yang 26 rakaat, 36 atau 40 rakaat, dsb.

Di sini timbullah tantangan, apakah menganggap sama saja (setara) ibadah ciptaan Nabi SAW dengan “ibadah” ciptaan ulama ? Kemudian apakah memilih mendahulukan apa yang dari Nabi SAW atau apa yang dari ulama (mazhab) ? Maka menyamakan nilai/kebenaran/ kemuliaan apa yang datang dari Rasulullah SAW dengan apa yang datang dari ulama (apalagi khusus dalam masaalah akidah dan ibadah), ini sudah keterlaluan. Adalah Allah SWT telah menyuruh kita, untuk Allah dan Rasul ada pedoman : “sami’ na wa atokna“ (aku dengar dan aku ikut)“ dan kita juga sudah diberi tahu : “tidaklah Muhammad itu berbuat kecuali atas petunjuk Allah SWT“ dan kita disuruh ittiba’ (patuh) pada Rasul SAW.

Imam Syafii juga telah berkata : “Bila telah sah suatu hadis, maka itulah mazhabku“. Berarti karena keterangan 11 rakaat sudah sah dan jelas hadisnya,

maka itulah mazhab (yang diikut). Berarti bila dihadapkan pada kita pilihan antara Rasulullah SAW dengan ulama, maka wajib dulukan Rasul.

Tanda sejauh mana kebenaran iman kita. Apalagi HR Muslim telah menjelaskan pada kita, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya barang siapa mengerjakan sesuatu pekerjaan (akidah/ibadah) yang tidak ada dalam agama kami (petunjuk Nabi SAW), maka yang diamalkan itu tertolak (haram/bid’ah/sesat)“. Atau diperjelas oleh “Kaidah Ushul Fiqih“: “Sesungguhnya ibadah itu haram, kecuali ada petunjuk (Nabi SAW) yang membolehkannya“.

Maka ditanya, tolong ustad/ ulama tunjukkan petunjuk (contoh) dari Nabi SAW shalat taraweh (shalat malam) 23 rakaat itu. Tidak ada, maka terkena hukum tertolak, haram dan sesat (sesuai bunyi hadis di atas). Umar RA sendiri tidak pernah mengamalkan 23 rakaat. Kalau ada tuduhan itu fitnah.

Jadi ada 11 rakaat dari Nabi SAW dan ada 23 rakaat dari ulama, dan ada yang 26,36,40 rakaat. Tidak habis pikir, kenapa ada orang memilih 23 rakaat dst, tentu karena dianggapnya kualitasnya sama saja (setara) nilainya/ kebenarannya/ kemuliaannya di sisi Allah SWT. Kita boleh memilih ulama, bila tidak ada contoh/ petunjuk yang diajarkan Nabi SAW. Kalau masih ada, dulukan Nabi SAW. Ini iman yang benar!!!

Sunat tetap terikat pada sunnah
Meskipun shalat taraweh (shalat malam) itu shalat sunat, tapi itu ibadah. Pada ibadah apakah wajib atau sunat, tata cara pelaksanaannya sama saja. Bedanya cuma, yang fardhu bila tidak dikerjakan berdosa, dikerjakan berpahala. Ibadah yang sunat, tidak dikerjakan tidak berdosa, dikerjakan berpahala.

Kewajiban tata cara mengerjakannya sama saja, harus berbuat seperti tata cara petunjuk Nabi SAW (Sunnah). Maka bila ada yang mengatakan tata cara shalat taraweh 11 rakaat (ibadah sunat atas petunjuk Nabi SAW) dianggap sama saja dengan tata cara shalat taraweh 23 rakaat (oleh petunjuk ulama), ini keterlaluan, disangsikan sejauh mana kebenaran imannya.

Untuk dipahami, hak cipta ibadah itu, hanya pada Nabi SAW. Jadi ulama tidak mempunyai hak mencipta ibadah. Ulama boleh menentukan (berijtihad) hanya dalam teknis pada ibadah. Misalnya ber-ijtihad ke mana arah kiblat (di mana arah Kabah) ketika di hutan belantara. Tapi tidak boleh berijtihad: boleh shalat tanpa kiblat, karena tak tau kiblat di hutan belantara.

Saya buktikan bahwa apa yang dari Nabi SAW itu adalah atas petunjuk Allah SWT. Suatu riwayat menceritakan yaitu ketika Nabi SAW ditanya sahabat : “ anda tidak keluar tadi malam meng-imami kami shalat (3 malam Nabi SAW berturut- turut menjadi imam shalat malam/ shalat taraweh, tapi malam ke-4 Nabi SAW tak keluar dari kamarnya menjadi imam). Jawab Nabi SAW : “Aku tau (kalian shalat), tapi aku takut akan turun ayat menjadikan shalat alam (taraweh) itu menjadi wajib (bila aku terus mengimami kalian)“.

Ini bukti, setiap ibadah/aqidah yang wajib atau yang sunat, hak ipta/kaifiyatnya/hukumnya adalah dari Nabi SAW, untuk seterusnya disampaikan pada umat. Hanya melalui Nabi SAW, Allah SWT menyampaikan kehendak-Nya apakah shalat malam (taraweh) itu wajib atau sunat atau berapa jumlah akaatnya (kaifiyatnya).

Jadi kalau ada ulama membuat ciptaan baru pada akidah/ibadah atau menganggap kebenarannya sama saja, itu adalah keterlaluan, apalagi mereka sudah S1, S2, S3, MAg, Prof. DR, Kiyai, dsb. Ketahuilah akidah (tauhid) itu rusaknya bukan sekadar karena menyembah berhala, tapi yang lebih berbahaya adalah karena lebih mendahulukan/lebih mempercayai, lebih memuliakan kebenaran yang bukan dari Allah, tapi membenarkan, mempercayai mendahulukan memuliakan kebenaran yang bersumber dari yang lain.

Hal ini dijelaskan oleh Nabi SAW bersabda : “Yang aku kuatirkan kelak (pada umatku) bukan mereka menyembah matahari, bulan atau berhala, tapi mereka akan berbuat amal untuk selain Allah“ (H.R Ibnu Hibban). Dan ini merupakan syirik samara (halus) dan ini sangat berbahaya.

Kenapa berbahaya? Jawabnya : Bila orang menyembah berhala, kita tau, maka kita akan tegor dan menasihatinya. Dan ia tahu salah. Tapi seorang yang lebih membenarkan/memuliakan yang lain dibanding Allah tapi tanpa menyembahnya, maka kita tidak akan menasihatinya. Maka kesyirikannya berjalan terus.

Sehingga Nabi was-was pada umatnya, kelak akan berkata : “masak begitu saja sudah syirik“. Maka pada HR Imam Abu Ja’far : Nabi SAW mengingatkan : Dari Abu Bakar RA, Rasulullah SAW bersabda : “Syirik itu lebih samar dari langkah kaki semut di atas batu hitam, di malam gelap gulita“.

Begitu halus dan samarnya syirik itu disamakan Nabi SAW dengan langkah kaki semut yang berjalan di atas batu hitam dan di malam gelap gulita, supaya kita berhati-hati. Jadi kesimpulannya, menyamakan yang 11 rakaat (dikerjakan Nabi SAW atas petunjuk Allah SWT) dengan yang 23 rakaat (atas petunjuk ulama), jelas tidak sama. Apakah tidak tergolong dalam perbuatan syirik ? Akan kita bahas di lain waktu, Insya Allah.

Penulis adalah pengamat sosial dan keagamaan.
(dat03)

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61069:ibadah-ciptaan-nabi-dengan-ulama-apa-sama&catid=25:artikel&Itemid=44
sumber:

Modus Penipuan ATM: Wajib Baca Gan



Pengalaman pribadi dari salah satu teman ane gan :
di simak yah........

Peristiwa ini menimpa saya Hari Minggu yang lalu di salah satu ATM XXX (sebut saja ATM1). Semoga tidak terulang pada pembaca.

Kejadian ini berawal ketika saya mau menarik uang di ATM XXX. Seperti kadang-kadang terjadi setelah saya masukkan kartu ATM, layar ATM menyatakan bahwa “out of service” atau “maaf sementara tidak dapat melayani”. Tentu saja saya langsung tekan tombol Cancel untuk membatalkan transaksi. Namun ternyata kartu ATM tidak kunjung keluar walaupun saya ulangi berkali kali dan saya tunggu.

Di saat saya berharap kartu ATM segera keluar, tiba-tiba ada seseorang laki-laki (sebut saja Mr X) yang membuka pintu ATM dan tindakan kurang etis ini tentu agak mengejutkan saya. Orang tersebut yang tampil dengan sikap dan wajah innocent (tanpa dosa) dan dengan cukup santai bertanya: “Bisa Pak? Kartu saya tadi tertelan pak!”. Karena merasa senasib, sikap saya berubah dari curiga menjadi welcome.

Setelah saya amati, ternyata kartu saya tampak sedikit (kurang lebih satu millimeter) di bibir lobang kartu ATM dan saya berusaha dengan menyelipkan dua kartu tipis untuk menjepit kartu tersebut agar dapat saya keluarkan. Usaha saya itu mendapat respon yang bersahabat dari Mr X dan segera pula ia membantu saya untuk menjepit dengan kertas yang saya gunakan tetapi kartu ATM saya juga tidak berhasil dikeluarkan.

Usaha berikutnya dilakukan oleh Mr X dengan menelpon “Bank” (katanya saya telpon bank saja pak, 140xx ya? tanyanya dan tidak saya jawab karena saya konsentrasi dengan usaha saya untuk mengeluarkan kartu ATM). Setelah dia menceritakan apa yang telah terjadi dan salah satu ungkapannya ditelepon “kartu saya terganjal oleh bapak setelah saya pak!”. Mr X segera menyerahkan HPnya karena pihak “Bank” mau bicara dengan saya. Pihak “Bank” setelah menanyakan beberapa data seperti nama, tanggal lahir, nama ibu kandung segera menuntun saya agar dapat mengeluarkan kartu ATM saya dan tentu saja saya turuti.

Tekan tombol di bawah angka 9; tekan tombol di bawah angka 7; tekan pin bapak; tekan ENTER. Keluar tidak pak? Tanyanya. Tidak, jawab saya. Ok pak saya akan bantu sekali lagi mengeluarkan kartu bapak. Ikuti petunjuk saya tekan tombol di bawah angka 9; tekan tombol di bawah angka 7; tekan pin bapak (pelan-pelan pak) dan saya sempat berpikir mengapa harus pelan?; tekan ENTER. Singkatnya saya menekan PIN saya sampai sekitar tiga kali yang disaksikan oleh Mr. X. Saya tidak sampai hati meminta Mr X keluar dari ruang ATM karena ia telah meminjami HP dan “menolong saya”.

Adegan ini berarkhir ketika pihak “Bank” tidak berhasil membantu saya dengan mengatakan:

Ok pak, karena kartu bapak tidak bisa keluar, KARTU BAPAK SAYA BLOKIR SAJA DAN SAAT INI KARTU BAPAK SUDAH TIDAK BERFUNGSI. Besok bapak segera ke Bank Mandiri setempat untuk minta terbitkan kartu baru.

Karena merasa aman, saya segera tinggalkan ruang ATM dengan mengucapkan terima kasih kepada Mr. X setelah anak saya segera keluar dari mobil, menyusul ke ruang ATM menanyakan apa yang terjadi (kata saya: kartu sudah diblokir, kita pindah ATM lain saja nak).

Untungnya saya tidak menaruh semua telor saya dalam satu keranjang. Masih ada keranjang lain tidak peduli ukurannya. Segera saya menuju ATM (sebut saja ATM2) yang lain karena saya sudah ditunggu di salah satu toko untuk suatu transaksi. Sebelum saya (bersama isteri dan anak saya) masuk ke ATM2 tiba-tiba SMS banking masuk dan menyatakan rekening saya terdebet Rp. 1.500.000,-. Ketika itu saya baru sadar (menurut saya bukan karena hipnotis, tetapi logis) bahwa MR X TADI TERNYATA PENIPU dan pihak “Bank” yang bicara dengan saya adalah anggota sindikatnya.

Segera saya menuju ATM1 dengan melanggar lampu merah di perempatan jalan sambil menghampiri Polantas setempat. Sampai di tempat kejadian, tentu saja pelaku sudah kabur dan selama saya menuju kembali ke ATM1, rekening saya selalu terdebet hampir setiap setengah menit Rp 1,5 juta dan berkali-kali. Saya berusaha keras untuk memblokir via 140xx tetapi selalu dijawab oleh mesin penjawab dan setelah sekian lama saya baru bisa bicara dengan operator untuk melakukan pemblokiran. Apa boleh buat saat pemblokiran saldo tinggal tersisa Rp 82 ribu.

Setelah dihubungi oleh pihak kepolisian, tidak lama berselang petugas ATM Bank XXX datang dan membongkar mesin ATM. Ternyata di dalam ruang kartu masuk telah diselipkan SEBATANG KOREK API yang telah dipotong “pentolan” nya. Kata petugas bank: Ini yang membuat kartunya tidak bisa masuk… kejadian ini sudah sekitar satu tahun tapi pelakunya belum juga tertangkap.

KESIMPULAN:

1. Sindikat penipu memilih ATM yang terpencil, bukan yang di kantor bank dan/atau yang ada security-nya.
2. Mereka memilih hari libur agar nasabah tidak dapat menghubungi bank setempat.

SARAN AGAR HAL SERUPA TIDAK TERULANG PADA PEMBACA:

1. Gunakan ATM yang ada Bank-nya atau yang dekat security
2. Jika kartu macet dan tidak bisa keluar dengan usaha sendiri, tinggalkan saja karena orang lain tidak bisa menggunakan tanpa mengetahui PIN-nya dan segera lapor ke bank setempat (tentu pada hari kerja).
3. Pada saat pembaca panik karena jadwal padat, ditunggu dalam waktu singkat, sehingga secara emosional tidak stabil, mungkin juga sedang berantem sebaiknya hindari transaksi menggunakan ATM karena daya analisa menurun dan sangat memungkinkan terjadi kesalahan.
4. Batasi jumlah uang yang ada di rekening. Ada baiknya membuat rekening cadangan yang non-ATM.

sumber : http://www.forumkami.net/cafe/23394-modus-penipuan-atm-wajib-baca-gan.html

Friday, 29 July 2011

Virus-virus aqidah


“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon buruk yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun” (QS. Ibrahim, 14;24-26)

Para “Mufasir” (Ahli Tafsir) sepakat bahwasanya akar pohon yang ditamsilkan dengan Kalimah Thoyyibah adalah kalimat Tauhid, “Laa ilaaha illallah”. Artinya, seorang yang dalam hidupnya tidak berakar kepada prinsip akidah “laa ilaaha illallah”, tidak ubahnya pohon yang tidak berakar, atau akarnya sudah terangkat dari dasar tanah. Pohon seperti itu jangankan berbuah sehingga bermaslahat terutama bagi mereka yang hidup di sekitar pohon tersebut, bahkan untuk bertahan hidup saja mustahil. Pada ayat lain, Allah SWT menggambarkan orang-orang yang tidak beriman (kafir) adalah, “Mereka orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”(QS. Al Kahfi, 18:104).

Dalam berbagai hadits, Rasulullah Saw menyatakan bahwasanya kalimat Tauhid, “laa ilaaha illallah” itu tiket seseorang untuk masuk surga sekaligus membebaskannya dari ancaman keabadian di Neraka Jahannam. Akar akidah inilah yang selama ini coba digerogoti oleh segelintir orang di negeri ini, ironisnya mereka mempergunakan nama Islam atau atribut-atribut Islam, yang tentunya dimaksudkan agar lebih memudahkan tercapainya tujuan mereka menyesatkan sesuatu yang termahal bagi kehidupan mu’min, yakni akidah.

Berbagai macam virus yang telah menjangkiti akidah sebagian ummat terutama mereka yang tidak memiliki akar akidah yang kokoh, di antaranya virus yang cukup berbahaya bagi ummat, khususnya generasi muda adalah virus yang popular dengan sebutan “Sepilis’ (Sekularisme, Plurarisme dan Liberalisme) karena di samping metoda pendekatan mereka yang banyak bermain dengan logika, juga karena beberapa tokohnya sudah “kadung’ dikenal di masayarakat sebagai “Cendekiawan Muslim” dan atau ulama/kiai.

Virus sekularisme telah lama menjangkiti dan menggerogoti akidah sebagian ummat di negeri yang “konon” mayoritas muslim. Terbukti tidak sedikit di antara para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang sudah tidak merasa terancam keislamannya dengan dzalim dan fasik (QS. Al Ma-idah, 5 : 45,47) atau bahkan kufur (QS. Al Ma-idah,5:44) tatkala mereka tidak mempergunakan wewenang yang dimilikinya untuk menetapkan dan atau melaksanakan syariat Islam secara “Kaffah” (Integral) mencakup seluruh aspek hidup.

Sementara virus liberalisme yang dulu hanya milik Iblis, kini telah berhasil disebarkan Iblis kepada kelompok ini. Mereka dengan takabburnya menuhankan hawa nafsu (QS. Al Furqaan, 25:43; Al Jaasiiyah, 45:23) dan akal mereka dengan menolak bahkan melecehkan syariat Allah SWT yang tidak cocok dengan akal mereka. Benar dan salah adalah yang benar dan salah menurut akal. Dengan gegabahnya mereka nyatakan “Tuhan telah mati” karena Tuhan yang sesungguhnya adalah akal mereka. Kalaupun mereka masih meyakini dan menjalankan sebagian syariat, maka hanyalah sebatas ajaran agama yang selaras dan dapat dibenarkan akal mereka.

Sesuai dengan namanya, mereka benar-benar merasa memiliki kebebasan mutlak yang tidak boleh dibatasi siapa pun bahkan oleh Allah SWT. Ini tentu saja bertolak belakang dengan keimanan seorang muslim yang mengakui tidak ada kebebasan mutlak dimiliki manusia. Satu-satunya kebebasan yang dianugerahkan Allah SWT sebagai Al Khalik kepada manusia sebagai makhluk hanyalah kebebasan memilih untuk beriman atau kafir (QS.Al Kahfi, 18 : 29).

Bila seseorang memilih mu’min, maka sudah tidak memiliki kebebasan lagi, karena yang bersangkutan sudah harus “Aslama – Islam” (tunduk, patuh, taat) terhadap syariat Allah SWT, dimengerti atau tidak dimengerti oleh akalnya. Sepanjang syariat itu ditetapkan dengan Nash yang Qath’i (Al Qur’an dan As Sunnah) yang tergolong ayat Muhkamat. Akal hanya diberi kebebasan berijtihad terhadap hal yang tidak ada Nash atau Nashnya “dzanni” (mengundang keraguan), “tsubuut” (hadits shoheh atau bukan) atau “dalaalahnya” (pengertiannya yang dapat mengundang berbagai interpretasi). Bila Iblis dinyatakan gugur keimanannya dan dilaknat Allah SWT karena dengan logika sesatnya mengkufuri “satu” aturan Allah SWT. Di negeri ini, tokoh kelompok ini malah diberi gelar Cendekiawan Mslim atau ulama.

Virus akidah lainnya yakni pluralisme terbilang sangat aneh bila dilihat dari prinsip dasar keyakinan akan hakikat kebenaran, Sungguh sulit diterima akal sehat bila dua atau tiga hal yang secara prinsip bukan hanya saja berbeda, bahkan sangat bertentangan, lalu dinyatakan kelompok ini semua benar dan selamat. Setiap orang yang memiliki keyakinan pasti akan sulit memahami pandangan seperti ini. Logika yang paling sederhana, bila seseorang meyakini suatu kebenaran maka pada saat yang sama ia akan meyakini sesat segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya,

Menurut kelompok ini, setiap amal sepanjang bermaslahat bagi orang lain, maka ia menjadi amal shaleh apa pun agama yang diyakininya. Padahal sebagaimana ditamsilkan dalam QS. Ibrahim ayat 24-25 tersebut di atas, bahwa hanya dengan akar yang benar (Kalimat Tauhid) pohon tersebut dahan dan rantingnya menjulang ke langit (Habluminallah) dan berbuah yang buahnya bisa dinikmati oleh masyarakat yang hidup di sekitar pohon tersebut (Hablumminannaas). Seperti halnya kaum liberalism, kelompok pluralisme juga menuhankan akal mereka. Mereka interpretasikan satu-dua ayat sekehendak mereka tanpa memperdulikan kaidah-kaidah tafsir dan tanpa mau peduli bila pandangan mereka nyata-nyata bertentangan dengan sekian puluh bahkan ratus ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang menjelaskan tentang maksud ayat yang mereka artikan secara serampangan.

Ketiga virus ini memang baru menyesatkan segelintir ummat di Negeri ini. namun kehadirannya harus terus diwaspadai karena tidak mustahil bisa menjangkiti ummat yang lemah akidahnya.



Sumber
http://mentaririsahdieni.dagdigdug.com

Thursday, 28 July 2011

10 khasiat buah pisang

Selain menjadi favorit sebagian besar atlet, buah pisang juga memiliki khasiat bagi kesehatan serta kecantikan. Namun untuk mendapatkan manfaatnya, Anda perlu cermat memilih. Pasalnya hanya pisang yang matang saja yang dapat mengubah gula darah menjadi glukosa alami, serta cepat diabsorsi ke dalam peredaran darah.

Ciri-ciri pisang yang matang, adalah pisang yang kulitnya berwarna hijau kekuning-kuningan dengan bercak cokelat atau kuning. Semua kandungan dalam pisang matang tersebut, akan memberikan beberapa manfaat kesehatan, terutama bagi:

1. Sumber Tenaga
Pisang dapat dicerna dengan mudah, sehingga gula yang terdapat didalamnya akan diubah menjadi sumber tenaga yang baik untuk pembentukan tubuh, kerja otot dan juga sangat bagus untuk menghilangkan lelah.

2. Ibu Hamil
Wanita yang tengah hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi pisang, karena mengandung asam folat tinggi yang penting bagi kesempurnaan janin, pembentukan sel-sel baru dan mencegah terjadi cacat bawaan.

Sebuah pisang matang, akan mengandung sekitar 85-100 kalori. Sehingga dengan memakan dua pisang segar, kebutuhan asam folat yang sekitar 58 mikrogram dapat terpenuhi. Di samping itu pisang akan membantu menjaga kadar gula darah yang dapat mengurangi morning sick, sehingga pisang sangat baik untuk cemilan ibu hamil.

3. Penderita Anemia
Kandungan zat besi yang cukup tinggi pada pisang, dapat menstimulasi produksi hemoglobin dalam darah bagi penderita anemia. Dua buah pisang sehari, sangat baik untuk penderita anemia.

4. Penderita Sakit Maag
Sebagai buah yang dapat dikonsumsi langsung, pisang tak membuat iritasi atau kerusakan usus bagi penderita maag. Buah ini sering digunakan untuk melawan penyakit usus, sebab teksturnya lembut.

Pisang juga dapat menetralkan kelebihan asam lambung dan melapisi perut sehingga mampu mengurangi iritasi. Bagi yang mengalami penyakit usus atau kolik akibat asam lambung, Anda dapat mengkonsumsinya dengan di campur pada segelas susu cair.

5. Penderita Penyakit Lever
Bagi penderita lever, dua buah pisang sehari dengan tambahan satu sendok madu, akan baik untuk menambah nafsu makan dan meningkatkan kuat.

6. Penderita Luka Bakar
Khusus untuk penderita luka bakar, Anda dapat menggunakan daun pisang sebagai pengobatan. Caranya, kulit yang terbakar dioles dengan campuran abu daun pisang dan minyak kelapa. Campuran ini mampu mendinginkan kulit yang terbakar.

7. Yang Mengalami Stress
Pisang mengandung potasium, yaitu mineral vital yang membantu menormalkan detak jantung, mengirim oksigen ke otak dan mengatur keseimbangan kadar air dalam tubuh. Ketika mengalami stress, metabolisme tubuh akan meningkat drastis sehingga mengurangi kadar potasium tubuh. Dengan pisang, potasium dalam tubuh kadarnya akan seimbang.

8. Penderita Stroke
Berdasarkan riset The New England Journal of Medicine, mengkonsumsi pisang setiap hari akan menurunkan resiko kematian akibat stroke hingga 40%.

9. Mengontrol Temperatur
Di beberapa negara, pisang dipandang sebagai makanan pendingin yang dapat menurunkan temperatur fisik dan emosional ibu hamil. Di Thailand contohnya, ibu hamil mengkonsumsi pisang untuk memastikan bayi lahir dengan temperatur sejuk.

10. Meningkatkan Kekuatan Otak
Di sebuah sekolah Inggris, 200 pelajar mampu menyelesaikan ujian akhir hanya dengan sarapan pisang. Mereka juga kerap mengkonsumsi pisang saat jam istirahat serta makan siang, sebab pisang mampu meningkatkan kekuatan otak.

sumber :http://cara2sip.blogspot.com/2011/03/timetotalks.html

Belajar dari ibu penjual tempe

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang. "Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. .." demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah shalat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atasmeja panjang. Tapi, deg! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.

Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang kedelai, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, di tengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. "Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku..." Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya.

Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh. Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan... dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacang kedelainya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang "memproses" doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi.

Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. "Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku..."

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan... belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. "Keajaiban Tuhan akan datang... pasti," yakinnya.

Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, "tangan" Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa... berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya.

Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu. "Pasti sekarang telah jadi tempe!" batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan... dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.

Kecewa, airmata menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Apakah Dia ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar... merasa sendirian. Tuhan telah meninggalkan aku, batinnya.

Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan... esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan "teman-temannya" sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit, karena tempenya telah laku. Kesedihannya kian memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat...

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya. "Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya?"

Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan kedua tangannya. "Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe..." Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. "jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe..."

"Bagaimana Bu? Apa ibu menjual tempe setengah jadi?" tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. "Duh Gusti... bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?" ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat?

Pembaca, Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi! "Alhamdulillah!" pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. "Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?"

"Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Shalauddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?"

----------------------------------Selesai--------------------------------

Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan "memaksakan" Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa, merasa hidup ini tidak adil. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling baik untuk hamba-Nya. Sungguh, semua rencana Allah adalah SEMPURNA.

http://situslakalaka.blogspot.com/2011/03/belajar-dari-ibu-penjual-tempe.html

Wednesday, 27 July 2011

Bahaya bid'ah

BAHAYA BID’AH
Oleh : Tim Redaksi Al-Hujjah Lombok
Anggapan baik terhadap bid’ah berarti menganggap Islam seolah-olah belum sempurna

Syari’at islam telah sempurna, sehingga tidak memerlukan tambahan ataupun pengurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah ku ridhoi islam sebagai agamamu.”( Qs. Al-Maidah: 3) Dan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tidaklah wafat kecuali telah menjelaskan seluruh perkara dunia dan agama yang dibutuhkan. Jika demuikian, maka maksud perkataan atau perbuatan bid’ah dari pelakunya adalah bahwa agama ini seakan-akan belum sempurna, sehingga perlu untuk dilengkapi, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala belum terdapat di dalamnya.


Ibnu Majisyun berkata : “Aku mendengar Imam malik berkata: “Barang siapa yang membuat bid’ah dalam islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka Sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad rtelah berkhianat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman Dalam Al-qur’an , “pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamu.” Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk sebagai agama maka pada hari inipun bukan termasuk Agama.”( Asy-syatibi dalam Al-I’tisam).

Amalan bid’ah tertolak (tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala )

Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam urusan agama kami ini sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia tertolak.” (Bukhari Muslim)

Sebagaimana maklum bahwa syarat di terimanya amalan adalah: ikhlas dan sesuai dengan sunnah.

Ikhlas semata-mata karena mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala di akhirat, bukan pujian atau balasan makhluk ataupun ucapan terima kasih yang ini adalah merupakan kandungan syahadat La ilaaha illallah. Sesuai dengan sunnah yaitu sesuai dengan perintah dan tuntunan Rasullullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam, bukan berdasarkan hawa nafsu dan bid’ah yang diada-adakan, yang hal ini merupakan kandungan syahadat Muhammad Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Dengan demikian amalan bid’ah itu kehilangan syarat kedua, dari dua syarat di terimanya amal.

Bid’ah…mengikuti hawa nafsu

Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Thaimiyah: “para pelaku bid’ah adalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan syubhat. Mereka mengikuti hawa nafsunya dalam sesuatu yang di sukai dan di benci, mereka menetapkan hukum dengan prasangka dan syubhat. Mereka mengikuti prasangka dan apa yang di inginkan nafsunya, padahal telah datang petunjuk dari Tuhan Subhanahu wa Ta’ala mereka. Jika seseorang menggunakan hawa nafsunya dalam masalah agama maka sungguh dia adalah orang yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah. “(Al-Qashash:50)

Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan maksiat

Imam At-Tsauri rahimahullah berkata: “Bid’ah lebih di cintai oleh iblis dari pada perbuatan maksiat, orang terkadang bertaubat dari maksiat tetapi seseorang sulit bertaubat dari perbuatan bid’ahnya. Maksud perkataan Imam Ats-Tsauri rahimahullah itu di jelaskan oleh Ibnu Thaimiyah sebagai berikut: (makna perkataan mereka para imam islam, seperti Sufyan Ats-Tsauri dan lainnya) bahwa , amalan buruknya (yaitu bid’ah tersebut pent.) telah di hias-hiasi oleh syaitan sehinggga ia melihatnya sebagai suatu kebaikan, karena permulaan taubat adalah mengetahui perbuatannya itu buruk, sehingga ia bertaubat darinya, atau bahwa ia telah meninggalkan suatu kebaikan yang di perintahkan secara wajib atau tidak wajib, sehingga dia bertaubat dan mengerjakannya. Maka selama dia melihat perbuatannya suatu kebaikan, padahal sebenarnya adalah suatu keburukan, niscaya dia tidak akan bertaubat (Majmu’ fatawa X/9)

Bid’ah melenyapkan Sunnah

Seperti apa yang di katakan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu wa Anhu: ” Tidaklah datang suatu tahun pada Manusia melainkan mereka membuat bid’ah dan mematikan sunnah, hingga bentuk-bentuk bid’ah menjadi hidup dan sunnah menjadi mati.”

Hasan bin ‘Athiyyah : “Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah dalam agama mereka melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut dari mereka sunnah yang sepadan dengan nya, kemudian tidak akan mengembalikan kepada mereka sampai hari kiamat.” betapa indahnya yang dikatakan oleh sahabat agung Ibnu mas’ud Radhiallahu wa Anhu: “Hendaklah kamu menghindari apa yang baru di buat Manusia dari bentuk-bentuk bid’ah. Sebab agama tidak akan hilang dari hati seketika. Tetapi syaithan membuat bid’ah baru untuknya, hingga iman keluar dari hati, dan hampir-hampir Manusia meninggalkan apa yang telah di tetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka berupa shalat, puasa, halal dan haram, sementara mereka masih berbicara tentang Tuhan Yang Mahamulia. Maka siapa yang mendapatkan masa itu hendaknya dia lari. “Ia di tanya, “Wahai Abu Abdurrahman , kemana larinya ? “ia menjawab. “Tidak kemana-mana. Lari dengan hati dan agamanya. Janganlah duduk besama-sama dengan ahli bid’ah.(Al-Hajjah I/312 oleh Al-Ashbahani)

Bid’ah termasuk sikap ghuluw (melampaui batas syari’at)

Imam Al-Bukhari berkata dalam kitab shahihnya, Kitab Al-I’tisham bil kitab wa sunnah: “Bab: Apa yang dilarang tentang berlebih-lebihan, perselisihan di dalam ilmu, ghuluw di dalam agama dan bid’ah-bid’ah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : ” Wahai Ahli kitab janganlah kamu melampauibatas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakanterhadaap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’:171)

Bid’ah menyebabkan perpecahan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “dan bahwa (yang kami peritahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.”(Al-An’am 153)

Imam Asy-Syathibi berkata: “sirhathal mustaqim (jalan yang lurus) adalah jalan Allah yang dia serukan, yaitu As-Sunnah. Sedangkan As-Subul (jalan-jalan lain) adalah jalan-jalan orang-orang yang berselisih. Yang menyimpang dari jalan yang lurus. Mereka adalah para ahli bid’ah”(Al-I’tisham I/76 tahqiq Syaikh Salim Al-Hilali)

DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan menyatakan: “Dan sesunggunya melakukan/membuat bid’ah di dalam agama akan menambah perpecahan di kalangan ummat karena hal itu merupakan dasar yang menyelisihi agama, yang kita di larang mengkutinya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.”(Al-An’am 153) (Al-Madkhal lid dirasalah Al-‘aqidah ‘ala Madzhab Ahli Sunnah Waljama’ah)

BAHAYA BID’AH BAGI PELAKUNYA

Amalan-amalannya tidak di terima

terdapat beberapa nash yang menyatakan bahwa ibadah ahli bid’ah tidak di terima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diantarannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orangyang paling merugi perbuatannya. “yaitu orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Al-kahfi:103-104).

Imam Ibnu Katsir berkata: ” Karena Sesungguhnya ayat ini adalah makiyah (turun sebelum peristiwa hijrah dari makkah ke madinah) , sebelum berbicara terhadap orang-orang yahudi dan nashara, dan sebelum adanya al-hawarij (kaum pertama pembuat bid’ah) sama sekali. Sesungguhnya ayat ini umum meliputi setiap orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jalan yang tidak di ridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala , dia menyangka bahwa dia telah berbuat benar didalam ibadah tersebut padahal dia telah berbuat salah dan amalannya tertolak.” (Tafsir Al-Qur’annil Azhim)

Pelaku bid’ah semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

Diriwayatkan dari Al-hasan bahwa dia berkata : “shahibu (pelaku) bid’ah, tidaklah dia menambah kesungguhan, puasa, dan shalat, kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan dari Ayyub As-Sikhtiyani, dia berkata: “tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguhan kecuali dia semakin jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .” Pernyatan tersebut diisyaratkan kebenarannya oleh sabda Rasulullah rtentang khawarij: “satu kaum akan keluar di dalam ummat ini yang kamu meremehkan shalat kamu di bandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca Al-Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana melesatnya anak panah dari sasarannya.”(HR. Bukhari)

Asy-Syatibi berkata: “pertama beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pent.) menjelaskan tentang kesungguhan mereka, kemudian beliau menjelaskan tentang jaunya mereka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .(Al-I’tisham I/156)

Menangguh dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat.

Dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda : “Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk , maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”(HR. Muslim)

Sedangkan bid’ah merupakan kesesatan sebagaimana yang telah di katakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Inginkah ahli bid’ah menanggung seluruh dosa orang-orang yang mengiutinya sampai hari kiamat?! Tidakkah hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam ini menghentikan mereka!?.

Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan menyerupai pembuat syari’at

Hal ini karena pembuat syari’at (Allah Subhanahu wa Ta’ala ) telah membuat peraturan-peraturan kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya, sehingga dia sendirian dalam hal ini. Dialah yang membuat keptutusan tentang apa yang di perselisihkan oleh makhluk. Karena jika pembuatan peraturan-peraturan itu mampu di lakukan oleh Manusia, niscaya agama yang berisi peraturan-peraturan itu tidak di turunkan oleh Allah, para Rasul tidak perlu di utus, dan tidak ada lagi perselisihan di kalangan Manusia. maka orang-orang yang mengadakan perkara-perkara baru di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala itu berarti dia telah menempatkan dirinya sebanding dengan pembuat syari’at. Yaitu dia membuat peraturan bersamaan dengan pembuat syari’at dan telah membuka pintu perselisihan, serta menolak maksud atau tujuan pembuat syari’at di dalam kesendiriannya dalam membuat syari’at (peraturan).(Al-I’tisham I/66)

Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pada hari kiamat

Rasululah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda: “Sesung-guhnya aku mandahului dan menanti kamu di telaga. Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya sekelompok orang akan mendatangiku, aku mengenal mereka, dan mereka mengenalku, kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi di jawab “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara baru setelahmu.” Maka aku (Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam) berkata: “jauh ! jauh!! Bagi orang-orang yang merubah agama setelahku.” (HR. Bukhari -Muslim)

Pelaku bid’ah diancam dengan laknat Allah

Dari Ibrhahim At-taimi dia berkata: “Bapakku telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Ali Radhiallahu wa Anhu berkhutbah kepada kami di atas mimbar dari batu bata dan beliau membawa sebuah pedang, yang pada pedang tersebut terdapat sebuah lembaran yan tergantung, kemudian Ali berkata: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala kami tidak mempunyai kitab yang di baca kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa yang ada di lembaran ini.” Kemudian Ali membukanya, maka didalam lembaran itu tertulis:…maka barang siapa yan membuat perkara-perkara baru (bid’ah) di madinah niscaya dia mendapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikatnya dan seluruh Manusia.” (Bukhari no. 7300 dan Muslim no. 1730).

Pintu taubat hampir-hampir terkunci bagi shahibu (ahli) bid’ah

Hal ini disebutkan dalam beberapa hadist antara lain: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalangi taubat dari setiap shahibu bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya (Shahih At-Tarhib I/97 dan Zhilalul Jannah : 21 oleh Imam Al-Albani). Sesungguhnya ahli bid’ah tidak mendapakan taufik (bimbingan) untuk bertaubat. Sehingga taubat itu sama sekali tidak terjadi pada mereka kecuali jika dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah makna yang benar, dan tidak ada keraguan padanya.Karena telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan perkataan para salaf ini serta kenyataan para Ahli bid’ah itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Basri : “Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan mengizinkan taubat bagi Ahli bid’ah” (HR. Al-Lalikai).

Risalah Al-Hujjah No: 41 / Thn IV / Dzulhijjah / 1422H