ARIFIN S SIREGAR
Mungkin ada yang berkomentar, shalat taraweh telah berlalu, kenapa masih dibahas ? Komentar seperti ini, sungguh tidak benar. Tidak benar shalat taraweh telah berlalu, masih terus setiap tahun selama 12 bulan dan tetap perlu terus dikaji kebenarannya.
Pada tulisan ini, hanya merespon pernyataan sdr Azhari A.Tarigan dan ulama lain pada tulisannya (koran Waspada 3 September 2009 “Tasbih Ramadhan“, kolom 2 baris 12-20), dan beserta dakwah ulama lain di masjid/TV, yang mereka menyatakan, “shalat taraweh 11 rakaat atau 23 rakaat, tak perlu dibahas (diperdebatkan).
Berarti terkesan seolah-olah menganggap 11 rakaat atau 23 rakaat sama saja. Mau pilih mana silakan mau 11 rakaat atau 23 rakaat. Pernyataan seperti ini sangat perlu diluruskan, tidak boleh dibiarkan karena dapat merusak akidah. Yang membuat kita kesal, anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ dan tak perlu dibahas (diperdebatkan).
Kenapa tidak perlu ? Itu sangat perlu agar tau yang 11 rakaat dari siapa dan yang 23 rakaat dari siapa. Anggapan tersirat yang bernada “sama saja“ ini, sepintas lalu masaalah sederhana. Tapi bila dikaji lebih dalam, jelas tidak sederhana, karena berakibat bagi orang yang menerima kata itu menjadi pedoman, akan menanam bibit di hati/di pikiran seseorang bahwa Nabi SAW itu dan ulama itu setara (setingkat) di dalam ajaran Islam (di dalam hak menciptakan ibadah).
Padahal Muhammad SAW itu tidaklah berbuat kecuali atas petunjuk/bimbingan Allah SWT. Apa yang diterima Muhammad SAW adalah wahyu yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan apa yang diciptakan ulama adalah dari pemikiran mereka. Janganlah sampai ada ulama berani menyatakan apa yang diciptakan Nabi SAW (11 rakaat), dianggap nilainya sama dengan ciptaan ulama (23 rakaat).
Kalau ada ulama menyatakan demikian, ini merusak aqidah dan tantangannya rukun iman yaitu: “percaya pada Allah“ dan “percaya pada Rasul“. Penegasan dari rukun iman ini dijelaskan pada QS An-Nisa’ 59 ; Allah SWT berfirman: “Apabila kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalilah (rujuklah) kepada Allah (Al- Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) ....“.
Tidak disuruh oleh Allah SWT: kembali (ambil) dari ulama !!! Atau juga dikuatkan pada HR Muslim adalah Kitabulah (Al-Qur’an/Allah SWT), dan semulia-mulianya petunjuk adakah petunjuk Muhammad SAW (Sunnah) ....“
Memang kebenaran iman seseorang itu harus diuji. Ujian itu adalah berupa tantangan. Iman tanpa tantangan, itu belum iman. Seseorang beriman bahwa shalat sunat subuh 2 rakaat, mungkin karena Nabi SAW, dan semua ulama/ mazhab menyatakan shalat sunat subuh 2 rakaat. Tapi bila ada ulama (mazhab) mengatakan shalat sunat subuh 4 rakaat, mungkin ia akan memilih shalat sunat subuh 4 rakaat.
Hal ini akibat taqlid. Pendirian taqlid membuat seseorang jadi kultus dan lemah daya kritisnya. Ketahuanlah sejauh mana imannya setelah diuji dengan tantangan, (pilih Nabi SAW atau mazhab) ? Contoh kenapa seseorang memilih 23 rakaat bukan memilih yang 11 rakat, karena mazhabnya mengamalkan 23 rakaat.
Penjelasan
Untuk lebih jelasnya kenapa diketahui shalat taraweh 11 rakaat, setelah Aisyah RA memberitahukan pada sahabat Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa Nabi SAW shalat malam (shalat taraweh) di bulan Ramadhan 11 rakaat dan tidak lebih. Berbeda halnya terbentuknya shalat taraweh yang 23 rakaat, itu adalah ciptaan ulama. Bukti 23 rakaat itu ciptaan ulama, karena ada juga yang 26 rakaat, 36 atau 40 rakaat, dsb.
Di sini timbullah tantangan, apakah menganggap sama saja (setara) ibadah ciptaan Nabi SAW dengan “ibadah” ciptaan ulama ? Kemudian apakah memilih mendahulukan apa yang dari Nabi SAW atau apa yang dari ulama (mazhab) ? Maka menyamakan nilai/kebenaran/ kemuliaan apa yang datang dari Rasulullah SAW dengan apa yang datang dari ulama (apalagi khusus dalam masaalah akidah dan ibadah), ini sudah keterlaluan. Adalah Allah SWT telah menyuruh kita, untuk Allah dan Rasul ada pedoman : “sami’ na wa atokna“ (aku dengar dan aku ikut)“ dan kita juga sudah diberi tahu : “tidaklah Muhammad itu berbuat kecuali atas petunjuk Allah SWT“ dan kita disuruh ittiba’ (patuh) pada Rasul SAW.
Imam Syafii juga telah berkata : “Bila telah sah suatu hadis, maka itulah mazhabku“. Berarti karena keterangan 11 rakaat sudah sah dan jelas hadisnya,
maka itulah mazhab (yang diikut). Berarti bila dihadapkan pada kita pilihan antara Rasulullah SAW dengan ulama, maka wajib dulukan Rasul.
Tanda sejauh mana kebenaran iman kita. Apalagi HR Muslim telah menjelaskan pada kita, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya barang siapa mengerjakan sesuatu pekerjaan (akidah/ibadah) yang tidak ada dalam agama kami (petunjuk Nabi SAW), maka yang diamalkan itu tertolak (haram/bid’ah/sesat)“. Atau diperjelas oleh “Kaidah Ushul Fiqih“: “Sesungguhnya ibadah itu haram, kecuali ada petunjuk (Nabi SAW) yang membolehkannya“.
Maka ditanya, tolong ustad/ ulama tunjukkan petunjuk (contoh) dari Nabi SAW shalat taraweh (shalat malam) 23 rakaat itu. Tidak ada, maka terkena hukum tertolak, haram dan sesat (sesuai bunyi hadis di atas). Umar RA sendiri tidak pernah mengamalkan 23 rakaat. Kalau ada tuduhan itu fitnah.
Jadi ada 11 rakaat dari Nabi SAW dan ada 23 rakaat dari ulama, dan ada yang 26,36,40 rakaat. Tidak habis pikir, kenapa ada orang memilih 23 rakaat dst, tentu karena dianggapnya kualitasnya sama saja (setara) nilainya/ kebenarannya/ kemuliaannya di sisi Allah SWT. Kita boleh memilih ulama, bila tidak ada contoh/ petunjuk yang diajarkan Nabi SAW. Kalau masih ada, dulukan Nabi SAW. Ini iman yang benar!!!
Sunat tetap terikat pada sunnah
Meskipun shalat taraweh (shalat malam) itu shalat sunat, tapi itu ibadah. Pada ibadah apakah wajib atau sunat, tata cara pelaksanaannya sama saja. Bedanya cuma, yang fardhu bila tidak dikerjakan berdosa, dikerjakan berpahala. Ibadah yang sunat, tidak dikerjakan tidak berdosa, dikerjakan berpahala.
Kewajiban tata cara mengerjakannya sama saja, harus berbuat seperti tata cara petunjuk Nabi SAW (Sunnah). Maka bila ada yang mengatakan tata cara shalat taraweh 11 rakaat (ibadah sunat atas petunjuk Nabi SAW) dianggap sama saja dengan tata cara shalat taraweh 23 rakaat (oleh petunjuk ulama), ini keterlaluan, disangsikan sejauh mana kebenaran imannya.
Untuk dipahami, hak cipta ibadah itu, hanya pada Nabi SAW. Jadi ulama tidak mempunyai hak mencipta ibadah. Ulama boleh menentukan (berijtihad) hanya dalam teknis pada ibadah. Misalnya ber-ijtihad ke mana arah kiblat (di mana arah Kabah) ketika di hutan belantara. Tapi tidak boleh berijtihad: boleh shalat tanpa kiblat, karena tak tau kiblat di hutan belantara.
Saya buktikan bahwa apa yang dari Nabi SAW itu adalah atas petunjuk Allah SWT. Suatu riwayat menceritakan yaitu ketika Nabi SAW ditanya sahabat : “ anda tidak keluar tadi malam meng-imami kami shalat (3 malam Nabi SAW berturut- turut menjadi imam shalat malam/ shalat taraweh, tapi malam ke-4 Nabi SAW tak keluar dari kamarnya menjadi imam). Jawab Nabi SAW : “Aku tau (kalian shalat), tapi aku takut akan turun ayat menjadikan shalat alam (taraweh) itu menjadi wajib (bila aku terus mengimami kalian)“.
Ini bukti, setiap ibadah/aqidah yang wajib atau yang sunat, hak ipta/kaifiyatnya/hukumnya adalah dari Nabi SAW, untuk seterusnya disampaikan pada umat. Hanya melalui Nabi SAW, Allah SWT menyampaikan kehendak-Nya apakah shalat malam (taraweh) itu wajib atau sunat atau berapa jumlah akaatnya (kaifiyatnya).
Jadi kalau ada ulama membuat ciptaan baru pada akidah/ibadah atau menganggap kebenarannya sama saja, itu adalah keterlaluan, apalagi mereka sudah S1, S2, S3, MAg, Prof. DR, Kiyai, dsb. Ketahuilah akidah (tauhid) itu rusaknya bukan sekadar karena menyembah berhala, tapi yang lebih berbahaya adalah karena lebih mendahulukan/lebih mempercayai, lebih memuliakan kebenaran yang bukan dari Allah, tapi membenarkan, mempercayai mendahulukan memuliakan kebenaran yang bersumber dari yang lain.
Hal ini dijelaskan oleh Nabi SAW bersabda : “Yang aku kuatirkan kelak (pada umatku) bukan mereka menyembah matahari, bulan atau berhala, tapi mereka akan berbuat amal untuk selain Allah“ (H.R Ibnu Hibban). Dan ini merupakan syirik samara (halus) dan ini sangat berbahaya.
Kenapa berbahaya? Jawabnya : Bila orang menyembah berhala, kita tau, maka kita akan tegor dan menasihatinya. Dan ia tahu salah. Tapi seorang yang lebih membenarkan/memuliakan yang lain dibanding Allah tapi tanpa menyembahnya, maka kita tidak akan menasihatinya. Maka kesyirikannya berjalan terus.
Sehingga Nabi was-was pada umatnya, kelak akan berkata : “masak begitu saja sudah syirik“. Maka pada HR Imam Abu Ja’far : Nabi SAW mengingatkan : Dari Abu Bakar RA, Rasulullah SAW bersabda : “Syirik itu lebih samar dari langkah kaki semut di atas batu hitam, di malam gelap gulita“.
Begitu halus dan samarnya syirik itu disamakan Nabi SAW dengan langkah kaki semut yang berjalan di atas batu hitam dan di malam gelap gulita, supaya kita berhati-hati. Jadi kesimpulannya, menyamakan yang 11 rakaat (dikerjakan Nabi SAW atas petunjuk Allah SWT) dengan yang 23 rakaat (atas petunjuk ulama), jelas tidak sama. Apakah tidak tergolong dalam perbuatan syirik ? Akan kita bahas di lain waktu, Insya Allah.
Penulis adalah pengamat sosial dan keagamaan.
(dat03)
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61069:ibadah-ciptaan-nabi-dengan-ulama-apa-sama&catid=25:artikel&Itemid=44
sumber:
Bukankah para ulama lebih paham ilmu hadist?
ReplyDeletePara imam madzhab yang ilmunya luas memilih 23 rakaat akhiy, jikapun terjadi perbedaan dalam masalah ini alangkah baiknya jika saling menghormati.
Penulis artikel di atas sejauh mana memahami dan menghafal hadist yang sangat banyak?
"Ibadah ciptaan nabi dengan ulama, apa sama?"
Judul artikel seperti di atas perlu dikritisi karena yang benar adalah ulama mengajarkan kita tata cara beribadah sesuai Nabi saw. Wallahu ta'ala a'lam
Wassalamu'alaykum
Harrah's Cherokee Casino - Mapyro
ReplyDeleteHarrah's Cherokee 영천 출장마사지 Casino is a Native American gaming casino in Robinsonville, 이천 출장마사지 North Carolina. 인천광역 출장마사지 The casino's 390000 square foot gaming 통영 출장마사지 space 보령 출장안마 features 60